Teori Hukum Dalam Korelasi Kasus Hukum Yang Berdampak Luas Pada Kehidupan Sosial

Hukum

Kasus Suap Sengketa Pilkada oleh Hakim Mahkamah Konstitusi RI (Hakim ‘AM’ [1])

Tinjauan Singkat[2]

Ketua Mahkamah Konstitusi yang bermasalah Akil Mochtar (AM) ditangkap oleh KPK pada saat transaksi suap yang dilakukan oleh Tubagus Ariwardana (suami dari Walikota Tanggerang dan Adik dari Gubernur Banten – Ratu Atut Chosiya). Akil Mochtar ditangkap di rumah dinasnya pada saat melakukan transaksi suap untuk pilkada Lebak Banten, selain itu didalam ruang kerjanya didapati obat-obatan terlarang.
Dalam kasus ini, Akil Mochtar bisa dikenakan pasal 12c Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Hukuman yang akan dijatuhkan minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara. Sedangkan terkait dengan kepemilikan narkoba atau obat-obatan terlarang, AM bisa dikenakan pasal 111 dan Pasal 112 Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Selain itu ada hal yang menarik dari kasus AM ini. Banyak yang berkomentar bahwa hukuman yang paling tepat untuk AM adalah hukuman mati. Dalam peraturan perundang-undangan tidak disebutkan secara eksplisit tentang “hukuman mati” yang diberikan oleh pelaku apabila yang menyuap dan disuap oleh karena itu walaupun hukuman mati bagi kasus penyapan tidak ada dan tidak diatur didalam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi hal tersebut mempunyai implikasi yangsangat luas bagi masyarakat khususnya lembaga peradilan itu sendiri. Apalagi yang terjerat adalah seorang ketua Mahkamah Konstitusi itu sendiri yang merupakan contoh dan panutan bagi hakim MK yang lainnya dan hakim-hakim pada umumnya. Bisa dikatakan AM dapat dikenakan hukuman mati walaupun belum ada yurisprudensi untuk itu, karena untuk membuat efek jera pada pelakunya itu sendiri.

MK dan Kasus Suap

Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[3] Dalam tinjauan ilmu hukum tata Negara, Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga pengawal konstitusi (the guardian of constitution) dan lembaga penafsir konstitusi (the interpreter of constitution).[4] MK menjadi salah satu lembaga tinggi negara dengan tugas dan wewenang yang diberikan langsung oleh Undang-Undang Dasar RI tahun 1945.

Mahkamah Konsitusi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya memiliki Sembilan orang hakim, yang diutus oleh tiga cabang kekuasaan Negara yakni, Eksekutif, Legislative dan Yudikatif. Ke-sembilan orang hakim inilah yang pada dasarnya melakukan penafsiran dan pengawalan terhadap konstitusi.

Dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, secara khusus dalam Pasal 15 dan 16 ditetapkan berbagai syarat untuk menjadi Hakim Konstitusi, yaitu antara lain; memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, merupakan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; dan mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun. Berdasarkan Syarat-syarat ini maka dapat dilihat secara jelas bahwa keberadaan seorang Hakim Konstitusi memiliki posisi yang strategis dan penting dalam system ketatanegaraan Indonesia secara khusus dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman, bahkan merupakan panutan secara khusus bagi seluruh hakim yang ada dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Pada tahun 2013 terjadi peristiwa yang begitu menarik perhatian public dimana Ketua Mahkamah Konstitusi (Akil Mochtar) ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Penangkapan ini terjadi tepatnya pada sekitar pukul 22.00 WIB. Bersamaan dengan penangkapan itu, KPK menyita uang sekitar Rp 3 miliar yang terdiri dari 284.050 dollar Singapura dan 22.000 dollar AS.[5] Akil Mochtar diduga menerima suap terkait perkara sengketa pemilihan dua kepala daerah, yakni di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak, Banten.[6]

Dalam proses peradilan, akhirnya Hakim menyatakan, Akil terbukti menerima suap terkait empat dari lima sengketa pilkada dalam dakwaan kesatu, yaitu Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar), Kalimantan Tengah (Rp 3 miliar), Pilkada Lebak di Banten (Rp 1 miliar), Pilkada Empat Lawang (Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS), serta Pilkada Kota Palembang (sekitar Rp 3 miliar),[7] dan Menjatuhkan putusan terhadap terdakwa Akil Mochtar dengan pidana penjara seumur hidup.[8]

Akil juga diganjar pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Hakim Suwidya menyatakan hukuman itu sebagai bentuk pembelajaran karena banyak terpidana kasus korupsi masih menang dalam pemilihan kepala daerah. Sementara pidana denda nihil lantaran tidak mungkin digantikan.[9]

Perihal hukum yang diberikan kepada AM, terdapat pihak yang menganggap bahwa hukum mati dapat diberlakukan kepada AM oleh karena jabatan yang melekat kepadanya. Pihak yang seharusnya menjadi pengawal hukum tertinggi malah menciderai hukum itu sendiri.

Kasus ini memang menyita perhatian public dan dianggap menggoyahkan kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap lembaga peradilan. Pada saat Negara sedang gencar melakukan kegiatan pemberantasan korupsi malah terdapat oknum dari lembaga penegak hukum yang melakukan kejahatan tersebut.

Memang setelah bergulirnya kasus dari Mantan Hakim AM, beberapa waktu kemudian terjadi pula pada lembaga ini yang mengaitkan salah satu hakim didalamnya, yakni ‘PA'[10] yang menerima putusan pengadilan pada 4 September 2017. ‘PA’ divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Majelis hakim juga menjatuhkan hukuman tambahan berupa uang pengganti sebesar 10.000 dollar AS dan Rp 4.043.000, atau sama dengan jumlah suap yang diterima ‘PA’. Berbeda dengan AM, Mantan Menteri Hukum dan HAM ini terbukti menerima suap dari seorang pengusaha untuk mempengaruhi hasil dan membantu memenangkan putusan perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015 terkait uji materi atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.[11]

Korelasi Teori hukum dalam Kasus Suap Ketua MK

Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding fathers sebagai suatu Negara hukum (rechtstaat/the rule of law). Bahkan dalam rangka hasil perubahan keempat UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) ditegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.[12] Hukum diposisikan sebagai panglima dalam keberlangsungan Negara Indonesia, setiap aspek dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat dilandaskan atas hukum.

Sebagaimana dikemukakan oleh Van Apeldoorn bahwa hukum dapat dipandang sebagai pergaulan hidup yang teratur.[13]yang tentu didalamnya terdapat berbagai aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat. Dalam perkembangannya, hukum tidak hanya dipandang sebagai instrument untuk tercapainya keteraturan dalam masyarakat maupun untuk tercapainya keadilan namun paradigma tersebut meluas dan dapat di temukan dalam berbagai pandangan dari pada ahli hukum.

Adapun ahli yang dapat dikemuakan disini yaitu Gustav Radbruch, seorang akademisi dan politisi di Jerman. Menurut Radbruch, gagasan hukum sebagai gagasan kultural tidak bisa formal. Sebaliknya, ia terarah pada rechtidee, yakni keadilan. Keadilan sebagai suatu cita, seperti ditunjukkan oleh Aristoteles, tidak dapat mengatakan lain kecuali:’yang sama diperlakukan sama, dan yang tidak sama diperlakukan tidak sama”. Untuk mengisi cita keadilan ini dengan isi yang konkret, kita harus menengok kepada segi finalitasnya. Dan untuk melengkapi keadilan dan finalitas itu, dibutuhkan kepastian. Jadi bagi Radbruch, bukum memiliki tiga aspek, yakni keadilan, finalitas, dan kepastian. Aspek keadilan menunjuk pada “kesamaan hak didepan hukum – equality before the law”. Aspek finalitas, menunjuk pada tujuan keadilan, yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Aspek ini menentukan isi hukum. sedangkan kepastian menunjuk pada jaminan bahwa hukum benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati.[14]

Pandangan Radbruch perihal finalitas berkaitan dengan kemanfaatan sebagai hasil daripada hukum sendiri. Finalitas sendiri mengandung unsur relativitas karena tujuan keadilan (sebagai isi hukum) untuk menumbuhkan nilai kebaikan bagi manusia, lebih sebagai nilai etis dalam hukum.[15] dengan kata lain, terdapat tiga nilai dasar tujuan hukum yaitu : keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Dalam mencapai tujuannya tentunya terdapat usaha-usaha untuk menegakkan hukum itu sendiri. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,[16] Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.

Hukum menjadi suatu sistem yang memiliki elemen-elemen yang saling mendukung guna mencapai tujuannya dan didalam upaya penegakan hukum. Adapun teori yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman mengenai sistem hukum. Friedmand berpandangan bahwa agar penegakan hukum dapat berjalan efektif, maka harus berjalan seimbang antara tiga unsur system hukum (three elements of legal system) yakni: legal structure, legal substance, dan legal culture.[17]

Struktur hukum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-norma actual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum.[18] “Kultur hukum” disini sebenarnya merupakan unsur yang tercipta daripada suatu tuntutan atau kebutuhan – yang berkaitan dengan ide-ide, sikap, kepercayaan-kepercayaan, harapan-harapan, dan opini-opini tentang hukum.[19]

Dalam perkembangan-nya, Friedman menambahkan pula komponen yang keempat, yang disebutnya komponen dampak hukum (legal impact). Dengan komponen dampak hukum ini yang dimaksudkan adalah dampak dari suatu keputusan hukum yang menjadi objek kajian peneliti.[20]

Penutup

Dalam kaitannya dengan Kasus suap Ketua Mahkamah Konstitusi, maka tentunya ada suatu “kecacatan” dalam usaha pencapaian supremacy of law. Dimana Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu element dalam sistem hukum yang termasuk dalam legal structure telah diciderai oleh tindakan oknum Hakim (Ketua) Mahkamah Konstitusi . Tindakan ini tentunya tidak hanya berimplikasi pada pribadi oknum tersebut namun pada Lembaga dimana ia menjadi pimpinannya.

Selanjutnya mengenai legal impact daripada kasus ini, maka masyarakat merupakan pihak yang terkena dampak langsungnya. Persepsi masyarakat terpengaruh oleh perilaku oknum Hakim tersebut hingga menempatkan masyarakat pada posisi “sangsi” terhadap lembaga penegak hukum khususnya peradilan. Pola-pola sinergis dan taat aturan seharunya direalisasikan oleh elemen dari sistem hukum yang ada. Semoga upaya Law Enforcement tidak diceiderai oleh setiap elemen bangsa sehingga tercapailah The Suptemacy of Law di negeri ini.

[1] Dr. H. M. Akil Mochtar , S.H., M.H. (lahir di Putussibau, Kalimantan Barat, 18 Oktober 1960; umur 57 tahun) adalah Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia periode 2013 dan Hakim Konstitusi periode 2008-2013. Sumber: Wikipedia https://id.wikipedia.org/wiki/Akil_Mochtar
[2] Dikutip dari: https://www.kompasiana.com/trisnagama/kasus-hukum-akil-mochtar-dalam-sosiologi-hukum_54f91501a333116c048b4623
[3] Vide Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011.
[4] Jimly Asshiddiqie. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis. Jakarta: PT.Bhuana Ilmu Populer, 2009. Hal.341
[5]http://nasional.kompas.com/read/2013/10/03/1837456/Ini.Kronologi.Penangkapan.Akil.Mochtar
[6]http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2013-10-03/ketua-mahkamah-konstitusi-indonesia-resmi-jadi-tersangka-korupsi/1199912
[7]http://nasional.kompas.com/read/2015/02/23/17445991/ MA.Tolak.Kasasi.Vonis.Akil.Mochtar.Tetap.Seumur.Hidup
[8] https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/14f40b157492ffacec74576d5020ec29
[9] https://www.merdeka.com/peristiwa/hakim-vonis-akil-mochtar-seumur-hidup.html
[10] Dr. H. Patrialis Akbar, S.H., M.H. (lahir di Padang, Sumatera Barat, 31 Oktober 1958; umur 59 tahun) adalah seorang advokat dan politikus yang saat ini menjabat sebagai Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Indonesia.[1]Ia memiliki karier yang lengkap pada tiga cabang kekuasaan negara, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sebelumnya ia pernah menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat selama dua periode (1999 – 2004 dan 2004 – 2009) dari Partai Amanat Nasional dan kemudian sebagai Menteri Hukum dan HAM pada Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2011)
[11] http://nasional.kompas.com/read/2017/09/12/10124921/patrialis-akbar-tidak-ajukan-banding-atas-vonis-8-tahun-penjara
[12] Jimly… Op.Cit. Hal. 310
[13] L.J. Van Apeldoorn. Inleiding Tot de Studie Van Het Nederlandse Recht. Diterjemahkan kedalam: Pengantar Ilmu Hukum oleh Utarid Sadino. Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 2004. Hal
[14] Bernard L. Tanya, dkk. Teori Hukum – Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publishing, 2010. Hal 130
[15] Ibid.
[16] Jimly Asshiddiqie. Penegakan Hukum. Publikasi dalam situs: http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf
[17] Ahmad Mujahidin. Peradilan Satu Atap di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama, 2007, hal.10
[18] Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal Yudisial. VOL-IV/NO-01/APRIL/2011. hal.102
[19] Achmad Ali. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) – Volume 1 Pemahaman Awal. Jakarta: Prenada media, 2009. Hal 226
[20] Komisi…. Opcit.

Tinggalkan komentar